Rasulullah SAW menganjurkan umatnya menyembelih hewan atas kelahiran seorang bayi atau yang disebut aqiqah. Ada sedikit perbedaan di kalangan ulama mazhab mengenai hukum melaksanakan aqiqah. Dalil mengenai aqiqah disebutkan dalam riwayat yang berasal dari Samuroh bin Jundub RA, Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Artinya: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka hendaklah disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR Ibnu Majah. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ahmad dan lainnya juga meriwayatkan hal yang sama)
Sayyid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah mengatakan, aqiqah adalah sembelihan yang disembelih atas nama bayi yang dilahirkan. Menurutnya, kata aqiqah juga disebut iqqah yang artinya rambut bayi manusia. Kata ini juga digunakan sebagai sebutan bagi domba yang disembelih atas nama bayi yang dilahirkan.
Hukum Melaksanakan Aqiqah
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu, ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum melaksanakan aqiqah adalah sunnah bagi pihak-pihak yang wajib menafkahi anak tersebut. Sementara itu, ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa aqiqah hukumnya mubah dan tidak sampai mustahab (dianjurkan). Paket Aqiqah
Wahbah az-Zuhaili menjelaskan lebih lanjut, jumhur ulama sepakat bahwa hukum aqiqah tidak sampai wajib, namun hukum melaksanakan aqiqah akan menjadi wajib apabila dinazarkan sebelumnya. Landasan mengenai hukum ini disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud yang berasal dari Ibnu Abbas, bahwa baik ketika Hasan maupun Husein (cucu Rasulullah SAW) lahir, Rasulullah SAW menyembelih untuk masing-masing seekor domba jantan bertanduk.
Lebih lanjut, dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda,
“Jika seorang anak lahir, maka hendaklah diaqiqahi. Sembelihlah hewan untuknya dan hindarkanlah ia dari hal-hal yang akan menyakitinya.” (Diriwayatkan oleh penyusun kitab hadits kecuali Muslim)
Aqiqah bagi Orang Tak Mampu
Sejumlah ulama turut menjelaskan mengenai hukum melaksanakan aqiqah bagi orang yang tidak mampu. Ada pendapat yang menyebut hukum melaksanakan aqiqah adalah sunnah muakkad meskipun ayah bayi yang dilahirkan berada dalam kesulitan ekonomi. Ini merupakan pendapat Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah-nya. Sementara itu, disebutkan dalam Fiqh at-Ta’amul Ma’a an-Nas karya Abdul Aziz ibn Fauzan ibn Shalih, Ibnu Taimiyyah mengatakan, orang yang tidak mampu hendaknya dia tidak sampai berhutang untuk melaksanakan aqiqah karena bisa mendatangkan mudharat baginya.
“Aqiqah ini wajib bagi orang mampu saja, sementara bagi yang tak mampu, hendaknya dia tidak sampai berhutang, karena itu bisa membahayakannya dan mendatangkan mudharat baginya,” kata Ibnu Taimiyyah seperti diterjemahkan Imam Firdaus dan Ahmad Solahudin. Para ulama menyebut, aqiqah dilaksanakan tepat pada hari ketujuh kelahiran bayi. Jika bayi lahir pada malam hari, maka tujuh hari tadi dihitung mulai dari keesokan harinya. Namun, menurut mazhab Syafi’i, aqiqah tetap dibolehkan jika dilakukan sebelum atau sesudah hari ketujuh. jasa aqiqah.